29 Juli 2008

Era baru HMI


Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) bersatu kembali. HMI pun kini siap menyongsong masa depan, era baru dan melahirkan figur tokoh kembali. Organisasi yang sudah lama dibelah perbedaan dan konflik kepentingan itu, bersatu kembali. Di arena Kongres HMI XXVI yang diselenggarakan di Kota Palembang dan di hadapan Wakil Presiden M. Jusuf Kalla dan mantan Ketua DPR, Akbar Tandjung, serta di antara banyak tokoh yang pernah lahir dari rahim organisasi ini, HMI melebur jadi satu.

Kalla dan Akbar menyaksikan peristiwa besar dalam sejarah pergerakan kemahasiswaan di Indonesia itu. HMI adalah organisasi mahasiswa terbesar di negeri ini. Organisasi ini mengalami kemunduran peran sejarahnya akibat represi dan kooptasi kekuasaan Orde Baru. Mereka terbelah antara lain karena konflik kepentingan. Sehingga muncul dua faksi, yakni HMI Diponegoro dan HMI Majelis Penyelamat Organisasi (MPO). Dua kubu itulah yang kini sepakat kembali bersatu. HMI akan menjadi kekuatan besar dalam pergerakan dan harus mampu membangun insan inteligensia yang komit, humanis, dan saleh sosial.

"HMI memasuki era baru. HMI bakal berkibar lagi dengan titik temu yang didukung Kalla dan Akbar ini," ujar Fajar Zulkarnain, Ketua Umum PB HMI Diponegoro 2006-2008.

Komitmen islah itu dibacakan Ketua Umum PB HMI Dipo 2006-2008 Fajar Rahmat Zulkarnain dan Ketua PB HMI MPO 2007-2009 Syahrul Effendy Dasopa. Keduanya hadir dan ikut serta dalam pembukaan Kongres XXVI HMI di Hotel Novotel, Pelambang, Senin (28/7)."HMI Diponegoro dan HMI MPO sepakat untuk meruntuhkan ego pribadi dan ego kelompok dan menyatu dalam upaya bersama menegakkan syiar Islam," tegas keduanya ketika bergantian membacakan pernyataan islah di depan sekitar 4 ribu kader dan alumni HMI.

Ikrar islah tersebut langsung disambut standing ovation seluruh hadirin. Termasuk di antaranya Kalla, Akbar, dan Menteri Perindustrian Fahmi Idris. Ada kegembiraan di hati mereka melihat organisasi itu bersatu kembali.

HMI harus mengingat kembali sejarah ketika seorang mahasiswa, Lafran Pane, mendirikan Himpunan Mahasiswa Islam pada 1947. Sebagian besar mahasiswa yang diajaknya untuk ikut serta adalah mereka yang berasal dari perguruan tinggi umum. Mereka mendirikan HMI, antara lain, justru karena ingin belajar 'Islam'.

HMI dideklarasikan antara lain sebagai organisasi mahasiswa yang independen, kader umat dan bangsa. Mereka bukan organisasi politik praktis dan tidak menjadi onderbouw. Wajar jika Jenderal (Besar) Sudirman di masa perang kemerdekaan itu menyebut HMI sebagai Harapan Masyarakat Indonesia. Soalnya, dalam HMI berkumpul orang terpelajar yang diharapkan dapat memberi manfaat bagi masa depan bangsanya. Ada warna ke-Islaman dan kebangsaan sejak kelahirannya.Tidaklah mengherankan, ketika RI menghadapi perang kemerdekaan melawan Belanda, mereka juga mendirikan pasukan bersenjata yang dikenal sebagai Corp sebuah partai politik, termasuk partai politik Islam.

Dengan cita-cita pendirian HMI seperti itu, harus diakui, tidaklah mudah memegang khittah HMI di tengah lingkungan keumatan dan kebangsaan selama ini. Pluralisme yang mewarnai umat dan bangsa tentu menyulitkan formula HMI sebagai kader umat dan bangsa.Dalam perjalanannya, HMI selalu ditarik ke kanan dan ke kiri untuk berpihak kepada salah satu kekuatan umat dan bangsa. Sikap independen sering menjadi pertaruhan tidak mudah. Tidak jarang HMI dikesankan sebagai tidak independen lagi. Di era reformasi ini, HMI seharusnya memberikan pengalaman spiritual dan organisasional.

Aktivis HMI umumnya berkeyakinan baru melihat Islam sebagai sebuah agama yang betul-betul komplit dalam HMI. Apalagi HMI dikenal sangat moderat, inklusif dan liberal. Di HMI, ke-Islaman dan ke-Indonesiaan tidak dapat dipisahkan melainkan dia menjadi satu, artinya HMI menekankan nasionalisme yang dilandasi oleh semangat ke-Islaman ala HMI.

Segala aktivitas HMI harus dapat membentuk kader yang berkualitas dan komit dengan nilai-nilai kebenaran. HMI hendaknya menjadi wadah organisasi kader yang mendorong dan memberikan kesempatan berkembang pada anggotanya demi memiliki kualitas seperti ini agar dengan kualitas dan karakter pribadi yang cenderung pada kebenaran (hanif).

"Dengan cara demikian, setiap kader HMI dapat berkiprah secara tepat dalam melaksanakan pembaktiannya bagi kehidupan bangsa dan negaranya," kata Ray Rangkuti, aktivis LSM dan alumnus HMI. (waspada)